Written on 23.42 by Andriawan Syahrul Azhar
BAB 11,12,13,14
BAB 11. HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL(HAKI)
1. PENGERTIAN HAK ATAS KEKAYAAN
INTELEKTUAL (HAKI)
Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek
(di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property
Right. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut
adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of
the Human Mind) (WIPO, 1988:3).
Hak Kekayaan
Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada
seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI
mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI
merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda
imateriil).
Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud
(seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya
berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra,
keterampilan dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu.
2. PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL
Prinsip –
prinsip Hak Kekayaan Intelektual :
1.
Prinsip Ekonomi.
Prinsip
ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya
pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan
keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
2.
Prinsip Keadilan.
Prinsip
keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja
membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
3.
Prinsip Kebudayaan.
Prinsip
kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk
meningkatkan kehidupan manusia.
4.
Prinsip Sosial.
Prinsip
sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang
diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan
sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat.
3. KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Berdasarkan
WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak
cipta ( copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak kekayaan
industry ( industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu
tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan
industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris
mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen
pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
1.
Paten
2.
Merek
3.
Varietas tanaman
4.
Rahasia dagang
5.
Desain industry
6.
Desain tata letak sirkuit terpadu
4. DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
·
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor
15)
·
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor
29)
5. HAK CIPTA
Hak Cipta
adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan,
sastra dan seni.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal
1 ayat 1)
Hak cipta
diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan,
kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada
pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat
pribadi”.
Dasar Hukum
HAK CIPTA :
·
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor
15)
·
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor
29)
6. HAK PATEN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
·
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas
hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada
pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
·
Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang
teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya
tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya
(Pasal 1 Undang-undang Paten).
·
Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan
yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten
sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki
syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
·
Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan
(baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah
kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
- proses;
- hasil produksi;
- penyempurnaan dan pengembangan
proses;
- penyempurnaan dan pengembangan
hasil produksi
Dasar Hukum
HAK PATEN :
·
UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
·
UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
·
UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
7. HAK MERK
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
Merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
Merek
merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa)
tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga
kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.
Merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna
atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang
Merek).
Istilah –
Istilah Merk :
· Merek dagang adalah
merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang-barang sejenis lainnya.
· Merek jasa
yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
jasa-jasa sejenis lainnya.
· Merek kolektif adalah
merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang
diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
· Hak
atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek
yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan
sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Dasar Hukum
HAK MERK :
·
UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
·
UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
·
UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
8. DESAIN INDUSTRI
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
Desain
Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis
atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga
dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan
dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan
suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat
1).
9. RAHASIA DAGANG
Menurut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang :
Rahasia
Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi
dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha,
dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
DAFTAR
PUSTAKA :
BAB 12 PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Pengertian Konsumen
Adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2. Azas Dan Tujuan
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan
konsumen :
I. Asas
manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
II. .Asas
keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
III.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun
spiritual.
IV.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
V. Asas
kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Dalam UU
Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
sebagai berikut :
· Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
· mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
· Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
· Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
· Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
· Meningkatkan
kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. Hak Dan Kewajiban Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah
hak dan kewajiban.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai
berikut :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat keluhannya
atas barang/jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
4. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
- hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
- hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
- hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
- beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
- memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
- memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
5. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pelaku Usaha Dilarang Membuat atau Mencantumkan 8 (Delapan) Klausula Baku
yang menyatakan :
- Pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha;
- Pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
- Pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali uang atas pembayaran barang yang
dibeli konsumen;
- Pemberian
kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan
sepihak atas barang yang dibeli konsumen secara angsuran;
- Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli konsumen;
- Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
- Tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, yang dibuat sepihak
oleh pelaku usaha;
- Konsumen
memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak: tanggungan, gadai,
jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
6. Klausula Baku Dalam Perjanjian
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan
sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen
lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
7. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Salah satu tanggung jawab pelaku usaha adalah
memberikan ganti rugi atau kompensasi atas kerusakan, pencemaran dan/atau
kerugian yang diderita konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan
Setiap
pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang
cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha
ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal
28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
8. Sanksi
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut :
1)
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha
yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat,
jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut
( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa (
pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8
ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen
dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b )
2)
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
SUMBER :
BAB 13 ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
1. Pengertian
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan
istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa
yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat
istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat
kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan
istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut
dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar
,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial,
dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk
tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum
tentang permintaan dan penawaran pasar.
2. Azas Dan Tujuan
· Azas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
· Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar
kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi
dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha
adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3. Kegiatan Yang Dilarang
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal
33 ayat 2. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar
yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik,
telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta
sepenuhnya .
4. Perjanjian Yang Dilarang
Perjanjian
yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai
berikut :
(a)
Oligopoli
(b)
Penetapan harga
(c)
Pembagian wilayah
(d)
Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g)
Oligopsoni
(h)
Integrasi vertikal
(i)
Perjanjian tertutup
(j)
Perjanjian dengan pihak luar neger
5. Hal-Hal Yang Dikecualikan Dalam UU Anti Monopoli
Di dalam
Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,
yaitu :
· Pasal 50
1. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan
intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk
industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian
yang berkaitan dengan waralaba;
3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan
atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak
memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
5. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan
atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk
ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan
untuk melayani anggotanya.
· Pasal 51
Monopoli dan
atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
6. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah
lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat
Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
7. Sanksi
Pasal 36 UU
Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur
mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara
pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.
pencabutan izin usaha; atau
b. larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyjavascript:void(0)ebabkan
timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan
ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
SUMBER :
BAB 14. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
1. Pengertian
Pengertian
sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik,
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Tujuan
memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah
(inexpensive).
2. Cara-Cara Penyelesaian
· Negosiasi dan ADR
Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini telah dipandang
sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen)
sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini.
Penyelesaiannya tidak win-lose tetapi win-win. Karena itu pula cara
penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para pihak.
· Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan
pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul
arbitrase dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI), sudah semakin populer. Badan-badan penyelesaian sengketa sejenis telah
pula lahir. Di antaranya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),
badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.
· Pengadilan
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih
adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. 4 Pengusaha
atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum
bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan.
Masyarakat umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi
mereka terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.
· Mediasi
Mediasi adalah upaya penye dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang
tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa
mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
3. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
·
Perundingan : Perundingan merupakan tindakan atau proses menawar untuk meraih
tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima.
·
Arbitrase : Kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan
·
Ligitasi : Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan
membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan
atau penggantian atas kerusakan.
Jadi
perbandingan diantara ketiganya ini merupakan tahapan dari suatu penyelesaian
pertikaian. Tahap pertama terlebih dahulu melakukan perundingan diantara kedua
belah pihak yang bertikai, kedua ialah ke jalan Arbitrase ini di gunakan jika
kedua belah pihak tidak bisa menyelesaikan pertikaian yang ada oleh sebab itu
memerlukan pihak ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan
dengan menggunakan pihak ketiga oleh sebab ini mereka mebutuhkan hukum atau
pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA :
|